Senin, 03 September 2018

Menjadikan Berbuat Baik Sebagai Hobi



Dalam hidup, seringkali kita akan dipertemukan dengan orang-orang menginspirasi kita dan memotivasi kita untuk menjadi lebih baik. Sengaja ataupun tidak disengaja. Bentuk inspirasi dan motivasi yang disengaja adalah ketika kita memang mendatangi sebuah seminar atau talkshow dengan pengisi yang kita tau memang memberikan apa yang kita butuhkan. Misalnya, kita mendatangi seminar bisnis karena kita sedang mencari inspirasi bisnis. Sedangkan, bentuk inspirasi dan motivasi yang tidak disengaja adalah ketika kita ngobrol dengan seseorang. Dari obrolan tersebut, kita menemukan inspirasi untuk melakukan sesuatu. Kita termotivasi untuk menjadi diri yang lebih baik.
Kali ini saya ingin bercerita tentang dua teman. Keduanya bernama Rahma. Saya yakin ini bukan suatu kebetulan. Allah lah yang mengatur pertemuan kami sedemikian rupa. Rahma yang pertama saya panggil dengan sebutan Mbak Ma karena bisa dibilang dia tetua di kos yang saya tinggali. Sedangkan Rahma yang kedua, saya memanggilnya Rani. Rahma merupakan nama panggilan Rani ketika di rumah. Rani resmi menjadi penghuni kos beberapa bulan setelah Mbak Ma diboyong ke rumah suami.
Rahma berarti kasih sayang. Nama ini sungguh cocok pada mereka berdua. Wajah happy hampir tidak pernah luput meskipun gurat lelah tidak bisa ditutupi dari wajah tirus keduanya. Mereka mempunyai semangat yang luar biasa dalam menjalani kegiatan yang super padat, Salam penuh keceriaan selalu terdengar kala mereka mengetuk pintu. Suara khas yang mudah dikenali.
Hobi mereka tidak kalah unik. Ketika saya bertanya ke Mbak Ma tentang apa hobinya. Dia menjawab, “Silaturahim”. “Ada gitu hobi silaturahim?”, saya bertanya penuh keheranan. “Iya, senang aja ketemu orang baru dan menjaga hubungan tetap baik. Ini awalnya tuntutan pekerjaan tapi lama kelamaan berubah menjadi kebiasaan. Kamu tahu kan kerjaku di bidang marketing. Nah, mau nggak mau aku harus ketemu orang tiap hari”. “Kamu kan hobi ngomong, mbak. Ya pantes deh kalau suka ketemu orang”, saya menangggapi. “Eh, jangan salah. Dulu aku kalau ketemu orang bisa dibilang nggak seramah sekarang. Paling senyum aja. Nggak manggil”, mbak rahma melanjutkan. “Selain karena tuntutan pekerjaan tadi, semakin kesini semakin mengerti ternyata banyak manfaat silaturahim diantaranya memperpanjang umur, bikin awet muda, dan melancarkan rejeki”, sambungnya. “Iya iya, yang dapat jodoh gegara silaturahim juga”, aku meledek sambil menyenggol pundaknya. Dia hanya terseippu sembari menggangguk.
“Menolong orang, mbak”, jawab Rani ketika saya bertanya apa hobinya. “Ada  ya hobi nolong orang?”, saya kembali bertanya. “Iya, mbak. Suka aja nolong orang. Kadang aku sampe dimarahi temenku karena lebih mendahulukan orang lain daripada diri sendiri”, Rani melanjutkan. “Masya Allah”, kataku. Aku percaya ketiika Rani bilang hobinya adalah menolong orang. Aku mengenalnya sebagai orang yang sangat ringan tangan dan tidak segan menawarkan bantuan kepada orang yang terlihat membutuhkan.
Sedikit cerita dari mereka, memotivasi saya untuk melakukan kebaikan sekecil apapun. Kebaikan yang dilakukan secara terus menerus akan menjadi kebiasaan. Hingga suatu saat tanpa kita sadari berbuat baik untuk menjadi hobi dengan senang hati kita lakukan. J

#komunitasonedayonepost #ODOP_6

Kamis, 23 Agustus 2018

Aku dan Kenanganku yang Berkesan : Jas Hujan Tak Terduga

Musim hujan terakhir kali membuatku sedikit kewalahan karena bertepatan dengan banyaknya kegiatan yang aku ikuti di kampus maupun luar kampus. Seringkali nekat memutuskan pergi sebelum jas hujan sempat kering setelah menerjang hujan deras hari sebelumnya. Bahkan helm basah kuyup dan aku baru sadar ketika akan menggunakan.

Suatu siang masih di bulan yang sama terasa berbeda. Matahari terasa terik menyengat kulit. “Alhamdulillah. Jas hujannya kering deh nanti”, pikirku sebelum berangkat. Melihat matahari bersinar terik membuatku percaya diri menuju kampus tanpa membawa jas hujan. Baru setengah perjalanan menuju tempat tujuan, hujan turun dengan deras. Aku berteduh di depan teras toko. Aku tidak sendiri. Di tempat tersebut terdapat beberapa orang yang berteduh. “Pasti mereka juga mengira hari ini tidak akan turun hujan”, pikirku.

Tak jauh dari tempatku berdiri, terlihat ayah dan anak yang terlihat berdiskusi sembari sesekali melihat ke arahku. Aku merasa tidak enak. “Apa ada yang salah denganku?”, sembari memperhatikan barangkali ada yang terlihat aneh pada apa yang melekat di badanku. “Ah, mungkin perasaanku saja”, aku meyakinkan diri.

Tak lama kemudian ku lihat sang Ayah pergi mengendarai sepeda motor dengan menggunakan jas hujan yang diambil dari jok motornya. Putrinya yang terlihat seumuran denganku berdiri tak jauh dari dariku. Sekilas ku lihat dia sedang memperhatikan layar handphone. Sekitar lima belas menit kemudian, sang ayah datang memberikan sebuah bungkusan berwarna hitam sembari mengatakan sesuatu yang tiidak terdengar olehku. Sang anak segera membuka bungkusan yang ternyata berisi jas hujan berwarna merah dan segera memakainya.

 “Mbak”, terdengar sapaan seorang lelaki. “Iya”, jawabku menoleh ke arah suara. Tak ku sangka ayah sang anak tadi menyodorkan bungkusan kantong berwarna hitam. Belum sempat aku bertanya apa isi bungkusan tersebut, beliau mengatakan “Ini jas hujan, mbak”. Aku terkejut dan dengan spontan menolak, “Nggak apa-apa, pak. Saya nunggu hujannya reda saja.”. “Dipakai saja, mbak..ini masih ada satu, saya tadi membelikan anak saya juga”. “Wah, terima kasih banyak, pak” ku terima jas hujan polos berwarna biru muda tersebut.

            Masya Allah.. Terharu dan tidak bisa berkata-kata. Semoga Allah membalas kebaikan Ayah dan anak tersebut. J 

Jumat, 23 Februari 2018

Secangkir Kopi Pagimu

Kopi. Minuman favoritmu. Entah sudah berapa jenis seduhan kopi yang coba hingga kini. Kopi yang dibuat ibumu dirumah, kopi di warung sebelah asrama hingga kopi di coffe shop dengan harga yang tentu tidak murah.

“Kamu suka kopi?” tanyaku setelah beberapa kali melihat foto profil dan status media sosialmu adalah secangkir kopi dengan bebrabagi jenis cangkir angel foto yang berbeda.
“Iya. Biar lebih semangat”, katamu.
“Oh.”  Jawabku singkat.
“Kamu nggak suka kopi?” kamu bertanya.
Nggak terlalu. Tapi, nggak anti juga sih. Kalau ada pilihan minuman lain, mending aku milih yang lain..hehe.” Kataku.

Kopi. Minuman rakyat. Banyak yang suka. Murah dan bikin melek katanya. Aku suka. Tapi, dicampur susu. Itupun dikala mata sudah berat namun kerjaan tak mengiinkanku tidur barang sebentar. Barangkali kopi menjadi pilihan terakhirku.

Sejak obrolan singkat kita tentang kopi itu, kuliihat kamu lebih sering mengganti display picturemu dengan foto secangkir kopi. Sesekali dengan tambahan kalimat motivasi. Bahkan kamu sering mengirimiku foto secangkir kopi yang sedang kamu minum.

“Kopi lagi?”, balasku pada foto yang baru saja kamu kirimkan.
“Iya. Kan minuman favoritku. Biar melek dan semangat menjalani hari ini.” Katamu seperti mencoba meyakinkanku bahwa kopi itu bermanfaat.
“Oh gitu. Tapi, kan kafeinnya tinggi. Kenapa nggak minum air putih aja.” Aku mencoba memengaruhimu bahwa minum air putih lebih baik.
“Ya, minum air putih juga. Kopi sehari dua kali aja palingan.” Kamu membela.
“Dua kali sehari mah bisa diitung sering.”  Aku mulai ngeyel. Berharap kamu mengerti.
“Ya, nggak apa-apa kan. Banyak yang bilang terlalu sering minum kopi itu bahaya, kafeinnya tinggi. Tapi, mereka masih sering minum yang lain juga, minuman bersoda macam fa*ta, spr*te, minum teh padahal mengandung kafein juga, ada lagi yang masih minum minuman instan yang nggak kalah bahayanya sama kopi :).” Balasmu panjang lebar kali ini.
“Eh iya juga ya. Aku suka minum teh. Padahal aku juga tahu kalau banyak juga nggak bagus..hehe.” Kataku. Mulai berpikir tentang segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.
“Nah, itu dia. Kita seringkali menutup pada satu hal dengan mengabaikan hal yang lain.” Katamu menjadi kalimat penutup obrolan kita tentang kopi hari ini.

Terimakasih untuk inspirasi pagi dari secangkir kopimu. Mengingatkanku untuk melihat dunia ini lebih luas. 

-Kos Nuha, ditemani secangkir kopi susu,-